Minggu, 11 September 2011

(Cerpen) Cinta kakek duda pada nenek janda

Umur kakek Jhoni hampir Tujuh puluh tahun, hidup sebatang kara dirumah tua yang sederhana, Lima tahun dia hidup sendiri semenjak istrinya meninggal dan ketujuh anak laki-laki nya berpencar keseantero negeri hidup menjauh berkeluarga bersama istri-istrinya, berkali-kali kakek Jhoni dipaksa anak-anaknya diluar kota untuk tinggal bersama mereka namun kakek Jhoni menolak, ia enggan pindah dirumah tua yang penuh dengan kenangan itu, ia memaksakan dirinya untuk tinggal sendirian dan mengurus dirinya sendiri.ini juga dikarenakan kakek Jhoni tak mau merepotkan, apalagi harus tinggal bersama memantu yang belum tentu baik.

Setiap hari kakek Jhoni menghabiskan sisa hidupnya beribadah, nonton TV dan duduk berlama-lama diteras rumahnya. tak ada yang menarik dalam hidupnya, kadang ia tertawa sendiri melihat seorang nenek bernama Ifah yang senasib dengannya, nenek Ifah tinggal berhadapan rumah dengannya, setiap pagi mulai jam sembilan sampai Zhuhur tiba kakek Jhoni selalu melihat nenek Ifah duduk-duduk diteras rumahnya, kakek Jhoni tak pernah menyapanya begitupun nenek Ifah, mereka saling cuek semenjak mereka masih kecil dulu sampai sudah kakek nenek sekarang ini.

Padahal sewaktu kecil kakek Jhoni pernah menaruh hati pada nenek Ifah, namun setiap kali mereka bertemu selalu saja saling cuek dan saling benci, nenek Ifah sewaktu kecilnya sering membuat kakek Jhoni kesal begitupun nenek Ifah. padahal kakek Jhoni waktu remajanya sangat menyayangi nenek Ifah, namun setelah lulus SMA kakek Jhoni kuliah di Kairo, ia berniat untuk minta maaf setelah selesai pulang kuliah dan berniat ingin meminang nenek Ifah, tapi sayang setelah kakek Jhoni tamat kuliah dan pulang ke Jakarta, ia melihat nenek Ifah sudah menikah, semenjak itu kakek Jhoni membuang jauh-jauh rasa itu dan menikah dengan gadis lain.

Dan sekarang mereka memiliki nasib yang sama, kakek Jhoni menjadi duda dan nenek Ifah menjadi janda, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, setiap jam sembilan pagi sampai jam dua belas mereka selalu duduk-duduk diteras masing-masing, saling lihat namun selama itu pulah mereka tak pernah saling menyapa, kakek Jhoni sibuk dengan cerutunya dan nenek Ifah sibuk dengan sulamannya.

Dan pagi itu, nenek Ifah memandangi teras rumah kakek Jhoni, ia terkejut melihat kakek Jhoni tidak duduk-duduk diterasnya, biasanya kakek Jhoni tak pernah absen, sehari, dua hari, tiga hari sampai seminggu nenek Ifah tidak melihat kakek Jhoni keluar rumah lagi, nenek Ifah penasaran, ia langkahkan kakinya untuk berkunjung kerumah kakek Jhoni, ia ketuk pintu rumahnya.

"Assalamualaikum... Jhon... Jhon..." Panggil nenek Ifah dengan suara yang lemah. berkali-kali ia memanggil namun kakek Jhoni tak menyahut-nyahut. nenek Ifah menempelkan telinganya didaun pintu, berharap bisa mendengarkan suara aktivitas kakek Jhoni didalam. nenek Ifah hanya mendengar suara batuk-batuk. nenek ifah mencoba membuka pintu, ternyata tak ditutup, nenek Ifah langsung masuk, ia terkejut saat melihat isi rumahnya berantakan.

"Jhon... Jhon..." Panggil nenek Ifah lagi. suara batuk dari dalam kamar terdengar cukup keras, nenek Ifah cepat-cepat kearah kamar depan.

"Astaghfirullah Jhon...." Ucap nenek Ifah saat melihat kakek Jhoni yang terbaring lemah dan melihat sedikit darah yang keluar dari mulutnya, dengan sigap nenek Ifah menelpon ambulance, nenek Ifah membawa kakek Jhoni kerumah sakit.

****

Tiba-tiba kakek Jhoni tersadar.

"Dimana aku..." Ucap kakek Jhoni lemah saat ia melihat wajah nenek Ifah tersenyum.

"Dirumah sakit..." Jawab nenek Ifah.

"Terima kasih sudah membawaku kesini..."

"Saya penasaran kenapa kakek Jhoni nggak duduk-duduk diteras lagi, biasanya nggak pernah absen, eh pas saya ketuk ternyata pintu nggak dikonci, saya masuk aja, saya melihat kakek Jhoni sedang sakit... sudah dikasih tahu sama anak-anak bahwa kakek sakit?" Tanya nenek Ifah.

"Tak usah..." Jawab kakek Jhoni.

"kenapa?" Tanya nenek Ifah.

"Mereka pasti sibuk, dikasih tahu juga tak akan bisa pulang..." Ucap kakek Jhoni sedih.

"Sama seperti saya, semua anak saya yang merantau jauh kenegeri orang tak pernah mau pulang lagi, lebaranpun banyak alasan..." Ucap nenek Ifah juga bersedih.

Mereka sama-sama diam.

"Tapi saya punya teman sekarang." Ucap kakek Jhoni.

"Siapa?" Tanya nenek Ifah penasaran.

"Nenek Ifah..." Ucap kakek Jhoni sambil tersenyum.

Nenek Ifah langsung tersenyum juga. " Bisa aja..."

Setelah berhari-hari nenek Ifah menjaga kakek Jhoni dirumah sakit, akhirnya kakek Jhoni pulang, untuk uang kiriman dari anak-anaknya masih banyak disimpan, kakek Jhoni bisa membayar uang rumah sakit dengan aman. nenek Ifah mengantarkan kakek Jhoni kerumahnya, kakek Jhoni terkejut saat melihat rumahnya sangat rapih, air mata kakek Jhoni menetes.

"Terima kasih sudah mau merapikan rumahku, semenjak kepergian istriku dan perginya anak-anakku bekerja dan berkeluarga diluar kota aku sama sekali tak mengerti cara merawat rumah..." ucap kakek Jhoni pada nenek Ifah.

"Yasudah, sekarang kakek istirahat, nanti kubuatkan bubur dirumah..." Ucap nenek Ifah.

"Terimakasih..." Ucap kakek Jhoni sedih.

Nenek Ifahpun pulang kerumahnya, kakek Jhoni menangis memandangi photo anak-anaknya dan almarhumah istri kesayangannya, ia baru menyadari bahwa ia kesepian. namun kini ia punya teman, nenek Ifah yang selalu mengantarkan makanan dan membersihkan rumahnya tanpa sepengetahuan kakek Jhoni. pagi itu, kakek Jhoni ingin mengucapkan rasa terima kasih pada nenek Ifah, ia memakai jas kemeja bagus dan celana dasar, ia mengetuk rumah nenek Ifah, nenek Ifah terkejut melihat kedatangan kakek Jhoni.

"Mau ikut kakek jalan-jalan?" Tawar kakek Jhoni.

Nenek tersenyum malu. " Kita udah tua mau ajak saya jalan-jalan kemana?" Ucap nenek Ifah.

"Dari pada kita sama-sama bete dirumah mending keliling Jakarta. Mau?" Tawar kakek Jhoni sekali lagi.

"Tunggu sebentar..." Ucap nenek Ifah, kakek duduk-duduk saja diluar menunggu nenek Ifah keluar.

Kakek Jhoni terkejut saat melihat nenek Ifah dandan rapih.

"Saya siap dibawa kemana aja, asal pulangnya jangan kemalaman..." Ucap nenek Ifah.

"Hahahaha... kayak ABG aja ya kita..." Ucap kakek Jhoni sambil tertawa.

Merekapun menyewa Bemo seharian keliling jakarta, melihat monas, gedung-gedung, taman kota dan berakhir disebuah taman Barito didekat Blok M. kakek Ifah membeli sebotol minuman untuk nenek Ifah. remaja-remaja ditaman itu melihat kakek nenek itu dengan senyum, keakraban mereka kebaikan kakek memperhatikan nenek Ifah membuat semuanya iri, apa lagi ketika kakek membelikan nenek Ifah kacang rebus dan mengupaskan kacang itu buat nenek Ifah.

Malam-malam mereka pulang, kakek Jhoni mengantarkan nenek Ifah kedepan rumah nenek Ifah. semalaman kakek Jhoni tak bisa tidur begitupun nenek Ifah, mereka sama-sama saling memikirkan, mereka kini merasa sedikit bahagia tak lagi kesepian dan merasa punya teman walau jauh dari anak dan cucu.

beberapa hari kemudian kakek Jhoni mengajak nenek jalan-jalan lagi, kali ini mereka ke ancol. nenek Ifah sangat senang bisa melihat laut disana. apalagi ketika kakek Jhoni menawarkan untuk naik kapal layar, nenek teriak-teriak saat gelombang laut agak kencang, sementara kakek Jhoni tertawa-tawa saja.

Dipetang itu mereka makan malam didekat laut. kakek Jhoni memandangi wajah nenek Ifah yang sudah keriput.

"Kenapa tidak dari dulu ya kita seperti ini?" Tanya kakek Jhoni.

"Jangan ngomong kesana... kita sudah pada peot... hehehe" Ledek nenek Ifah.

"Saya sangat senang sakarang punya teman nenek-nenek..." Ucap kakek Jhoni.

"Saya juga senang punya teman kakek-kakek..." Ucap nenek Ifah

"Hahahahaha..." Mereka berdua tertawa berbarengan sambil menikmati makan malam.

****

Pagi itu kakek Jhoni pergi ketoko Mas, ia membeli dua cincin emas yang indah, setelah ia dapatkan ia bergegas pulang. ia langsung pergi kerumah nenek Ifah, namun sayang rumahnya terkunci. seseorang datang menghapiri kakek Jhoni.

"Nenek Ifah tadi pagi dibawa kerumah sakit, tadi ia manggil-manggil kakek terus... tapi sudah dibawa tetangga kesana..."

Kakek Jhoni bergegas minta diantarkan kerumah sakit. setiba disana ia melihat nenek Ifah berbaring lemah.

"Nenek... kamu sakit...?" Tanya kakek Jhoni, ia melihat air mata nenek mengalir.

"Sudah tua..." Ucap nenek Ifah.

"Jangan bicara seperti itu, kamu pasti sembuh... saya... saya udah beli dua cincin buat kita..." Ucap kakek Jhoni sedih.

"Kita sudah tua Jhoni... bukan remaja lagi..." Ucap nenek Ifah menangis.

"Tapi semenjak saya dekat dengan nenek, saya tak lagi kesepian..." Ucap kakek Jhoni sembab.

Nenek Ifah menangis deras. "Pakaikanlah cincin itu dijemari saya... setelah saya sembuh saya janji akan selalu menemani kakek Jhoni..."

Kakek Jhoni bergegas memasangkan cincin itu kejari manis nenek Ifah... namun setelah cincin itu dipasangkan, tiba-tiba nafas nenek tak beraturan...

"Nek... nenek Ifah....?" Panggil kakek Jhoni panik.

"Terima kasih, sudah buat diakhir hidup saya bahagia... pulanglah kesalah satu anakmu Jhoni... hiduplah bersama cucu-cucumu... saya sayang kakek Jhoni... maafkan saya kalau semejak kecil suka jahat sama kakek Jhoni... itu saya lakukan karena saya tak tahu harus bersikap apa disaat saya menyukai kakek Jhoni dulu, sampai saya menunggu kakek Jhoni selesai kuliah, namun orang tua saya sudah punya calon untuk saya... saya minta maaf, saya tahu kakek Jhoni menyukai saya dulu dari temen kakek Jhoni... terima kasih semuanya... terima kasih jalan-jalannya..." setes air mata terjatuh saat nenek Ifah menghembuskan nafas terakhir. kakek Jhoni menangis tersedu-sedu tiada henti.

"Jangan dulu pergi nek... jangan... saya juga menyayangi nenek Ifah... jangan pergi, saya tak punya siapa-siapa lagi sekarang... " Teriak kakek Jhoni sambil menangis.

Hening... semua berakhir sampai disini, kakek Jhoni sendirian lagi, melawan hidup sampai nanti, sampai ajalnya menanti.

Jakarta 11 September 2011

Kamis, 08 September 2011

(Cerpen) Saat Sendiri

Pernahkah engkau menginginkan saat untuk bisa sendiri tanpa siapapun? saat dimana engkau mengalami puncak kemelankolisan dalam hidup, membiarkan perasaan sedih menjalar ditubuhmu, mengharuskan mimik mukamu masam dan pucat, bilapun dirimu seorang laki-laki engkau menghendaki matamu melampiaskan semua kesedihanmu dengan air matanya, pernahkah? Jika pernah, itu yang aku alami saat ini, sesuatu yang tak aku inginkan namun dengan sendirinya mengalir melibatkan semua hidupku. Apalagi kalau bukan karena hati penyebabnya, ah... basi, tapi ini tak bisa untuk kupungkiri, cinta terpendam sekian lama dan kecemburuan yang buta, padanya sahabat perempuanku Pingkan dan kecemburuan melihatnya lebih akrab dengan Dion yang juga sahabatku. Ah... pelik.

Aku berdiri saja di lantai 10 Sky Dinning Plaza Semanggi sore itu, berdiri didekat meja-meja kafe menghadap hamparan luas kota Jakarta bersama gedung-gedung tingginya, memandang awan yang semakin menghitam dan membiarkan panas matahari sore itu menyengati kulit hitamku, aku merasa sepi disaat tempat itu sangat ramai kutemui mereka-mereka yang becengkrama memenuhi meja-meja kafe, aku ingin sendiri saat ini.

Sebuah SMS baru saja masuk ke HP ku, dari Pingkan.

"Ki... kita udah nungguin hampir dua jam nih buat ngebahas cerpen bertema Supranatural yang jadi tugas team kita minggu lalu, kamu dimana? Dion juga nunggu nih, ada kabar bagus, cerpennya dimuat di Anneka Yess..."

Aku tak membalasnya, satu sisi aku senang melihat cerpen Dion yang akhirnya bisa dimuat di majalah yang cukup tenar di Indonesia itu, tapi... fokusku bukan pada aktivitas ini, pada hati... susah untuk menjelaskan kecemburuan ini, dulunya aku begitu semangat menyelesaikan novelku selama tiga bulan ditemani Pingkan, dia juga sekaligus menjadi editor pribadiku, Pingkan banyak membatu membenahi tulisanku, tapi akhir-akhir ini ia tak begitu peduli lagi padaku, dia lebih akrab pada Dion, apa-apa semua curhatnya pada Dion tak lagi padaku, kadang mereka terlihat begitu akrab, sementara padaku Pingkan sudah terlhat kaku. aku menjadi tak begitu semangat lagi menulis.

Hpku berbunyi lagi.

"Pleas Ki... ayo cepet dateng kemarkas, Hp nya diangkat dong... " Sms dari Pingkan.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan, tak tega bersikap seperti ini sebenarnya, tapi bila aku paksakan untuk hadir bersama mereka aku tak kuat menahan rasa cemburuku, dulu Pingkan lebih memilih naik angkot bersamaku, kini bila kemana-mana selalu Dion dan Dion. aku tak begitu peduli.

Aku beranjak pergi dari gedung perbelanjaan itu, sebuah tas yang kupenuhi dengan pakaianku dan perlatan lainnya kujinjing dengan lemah, didepan jalanan itu kunaiki metromini menuju stasiun, kubeli tiket jurusan kota Brebes, aku ingin pergi mengunjungi sahabat lamaku mas Budi, sudah kubilang dari awal, aku ingin menjauh, menyepi dan menyendiri...

Tak begitu kuperhatikan panorama alam dibalik jendela kaca Kereta, pandanganku lurus kedepan pikiranku entah kemana dan mataku kosong... aku ingin segera sampai kekota Brebes.

Tiba-tiba terkenang sebuah memory bersama Pingkan.

"Ki... kenapa kau tak pernah membuat cerpen atau novel tentang cinta? bukankah itu yang paling disukai di Indonesia ini?" Tanya Pingkan padaku.

Aku terdiam sesaat, setelah mendapatkan jawaban yang pas baru aku bicara padanya. " Yang terpenting dari sebuah karya itu adalah Inspirasi, Pesan yang ingin disampaikan dan minimal ada sesuatu yang bisa pembaca dapatkan setelah selesai membaca... aku bisa saja buat cerita cinta, tapi nanti setelah aku mendapatkan cinta itu dan merasakannya, bukannya bagusnya cerita itu juga berawal dari riset atau minimal penulisnya sudah pernah mengalaminya?" Ucapku ringan. Pingkan tersenyum lalu mengangguk.

"Memangnya sampai saat ini kau belum merasakan cinta?" Tanyanya.

Jantungku berdegup kencang, kupandangi wajah Pingkan yang ayu, kulihat matanya begitu sayu, detik ini, disaat dia bertanya seperti itu, mana mungkin aku bisa menjawabnya dengan jujur, karena jawabannya adalah aku sudah merasakan cinta itu, yaitu pada Pingkan, gadis yang sedang kupandangi.

"Ki... kamu nggak sedang melamunkan?" Ucap Pingkan melihatku aneh. aku baru tersadar bahwa aku sudah cukup lama belum menjawab pertanyaannya.

"Eh.... sepertinya belum." Jawabku tegas. kulihat mata Pingkan sedikit redup, aku tak tahu apa yang dia pikirkan saat itu.

Lamunanku buyar.  sebuah SMS kembali masuk, kali ini dari Dion.

"Bro... dimana lo? cerpen kita berdua udah pada jadi nih, tinggal kita diskusiin dan koreksi sama-sama... tau dah yang novelnya mau terbit bulan ini... kita tunggu sejam lagi ya? kalo nggak dateng juga kita caw..."

Aku diam saja tanpa ekspresi apapun membaca SMSnya.... lamunanku kembali buyar. terkenang kembali memory bersama Pingkan.

"Kemarin aku coba buat puisi... tentang kata hati, kamu mau denger nggak?" Tanya Pingkan padaku didepan kosanku. aku terdiam sesaat, hatiku bertanya untuk siapakah puisi kata hati itu? untukku kah? apakah Pingkan selama ini juga mencintaiku? jantungku deg-degan.

"Ki... kamu mau denger nggak?" Tnya Pingkan lagi. aku mengangguk sambil tersenyum. Pingkan mulai membaca puisi karyanya sendiri, hatiku gemetar hebat seolah-olah kata-kata itu untukku semua.

Hati yang diam...
Kapankah akan kau ketuk pada sebuah mulut agar ia mengucapnya...
Batu-batu tempatmu duduk dan berdiri memikirkannya sudah tak sabar ingin tahu kabarnya.
Bahkan rumput-rumput liarpun tak henti bergoyang menunggu kabar dari angin.

Bukankah aku seorang hawa...
Tak pantas Bila pertama mengungkap cinta
Tapi aku tak berdaya bagai ulat diatas daun yang pasrah dicengkram dan dibuang
menunggu, bagai tumbuhan menantikan hujan datang...

Ah...
Aku mencintainya...
Sekali ini dan selamanya...
Tak terganti...

kulihat mata Pingkan tiba-tiba sembab.

"Puisimu bagus sekali... buat siapa tuh?" Tanyaku ceplas ceplos. Pingkan memandangi mataku tajam, lama kemudian ia menjawab.

"Buat seseorang..." Ucap Pingkan lemah.

"Siapa memangnya?" Tanyaku penasaran, sesaat aku berpikir aku sudah gila memaksakan menayakan tentang rahasia hatinya, tapi aku ingin tahu, apa puisi itu untukku? bagaimana kalau buat yang lain? ha... aku tak siap merasakan sakit hati secara buta.

"Nanti kau akan tahu siapa jawabnya..." Ucap Pingkan lemah.

Dan semenjak itu, sepertinya pertanyaanku terjawab sudah, sepertinya puisi itu memang buat Dion. karena semenjak itu, Pingkan jauh lebih akrab dengan Dion dibanding aku, walau kita sering kemana-mana bertiga mencari inspirasi tulisan dan membahas cerpen hasil karya kita bertiga, tetap saja Pingkan selalu membutuhkan Dion dari segi apapun. tak lagi aku, bila Dion kerumahku, kadang ia habiskan waktu bertelponan dengan Pingkan, disaat telponnya selesai Dion langsung pulang dan begitupun Pingkan, ah.... aku merasa kalah. kecewa dan cemburu, karena aku sangat menyayangi Pingkan. sekali lagi kukatakan aku tak bisa melihat keakraban mereka dengan mataku langsung lagi.

****

Hampir tujuh jam lebih perjalanku diatas kereta api itu, akhirnya tiba juga dikota Brebes, mas Budi sahabat SMAku sudah menungguku di stasiun Brebes, aku senang ia menjembutku dengan becak milik ayahnya, kulihat diatas becaknya itu ada Santi kekasihnya yang sudah kukenal, karena tahun lalu aku juga pernah kesini, aku iri melihat kisah percintaan mas Budi dengan Santi, begitu sederhana namun begitu indah. diatas becak itu, kami bercerita bertiga sambil memandagi suasana kota Brebes dimalam hari, orang-orang bersepeda lalu lalang dijalanan, becak-becak dikayuh bebas di jalanan kota menjadi ciri khas tersendiri dikota ini. ah... aku sedikit mampu melupakan Pingkan.

esoknya mas Budi mengajakku kepantai Randu Sanga menaiki sepeda tua ayahnya, pantai yang sunyi namun seakan-akan memiliki nuansa mistis, airnya yang keruh namun masih memiliki panorama keindahan tersendiri, aku melamun.

"Ki... dari kemarin dateng, kayaknya wajahmu lagi mikirin sesuatu, mikirin apa sob?" Tanya mas Budi tiba-tiba. sambil memandangi ombak dipantai itu aku menarik nafas.

"Tentang cinta sob, sepertinya aku gagal dalam urusan ini, bahkan membuat kisahnya saja melewati cerpen atau novel aku tak mampu... ajari aku sob... ajari aku tentang cinta seperti keindahan cintamu dengan Santi...?" Ucapku tulus dan sedih.

Mas Budi terdiam lalu tersenyum.

"Cinta itu kejujuran sob, selalu menghadirkan kejujuran sampai dua insan masih saling mencintai... kejujuran akan perasaan, akan masalah-masalah pribadi dan semuanya... karena sejatinya semua orang setiap detiknya selalu menginginkan kejujuran hati dari setiap asangannya..." Ucap Mas Budi sambil melembar sesuatu ketengah-tengah ombak yang keruh.

Aku terdiam, memang selama ini salahku, tak pernah mau jujur akan perasaanku pada pingkan. hingga dia tak tahu dan akhirnya memilih Dion walau mereka belum resmi pacaran.

"Kita pulang sekarang mas Budi, aku mau pinjem bukumu dan pulpenmu... aku ingin menulis tentang cinta mas Budi... biar aku saja yang mengayuh sepedanya..." Ucapku, mas Budi hanya tersenyum, kukayuh sepeda tua itu untuk pulang kerumah mas Budi. setiba disana aku menulis sesuatu. menulis sebuah kisah cinta seperti yang Pingkan inginkan padaku. semalaman aku membuatnya, kuedit ulang lalu kurapihkan kata-katanya. mas Budi ngantuk-ngantuk menemaniku, esoknya  kami kerental, kuketik semua hasil karyaku itu lalu ku print. membungkusnya rapi dan kumasukkan dalam amplop. kubuat kisah yang berjudul "Saat Sendiri." lalu kukirimkan ke majalah melalui pos. aku menarik nafas lega setelah semuanya selesai.

Aku pulang, dan kembali mencoba untuk melanjutkan persahabatan kami bertiga antara aku, Pingkan dan Dion.  Hambar, setiap hari harus menahan kecemburuan dan gelisah, itu yang kualami hampir dua bulan ini semenjak melanjutkan kembali persahabatan kami, aku tak tahan lagi. aku sangat mencintaimu Pingkan,aku tak sanggup melihat keakraban kalian lagi, aku harus pergi dari kehidupan kalian, mungkin saatnya aku harus sendirian tanpa kalian lagi selamanya, aku ingin menulis tanpa kalian lagi, membuat karya-karya indah tanpa kalian lagi, sendiri di kampung halamanku Sumatera Selatan. kupikir tinggal dikampung dengan menjadi penulis Freelands dimajalah-majalh sudah cukup memenuhi kebutuhanku disana, sambil menunggu jawaban novel dari penerbit, memang aku harus menyepi kesana. kukemasi semua barang-barangku ditas. Pingkan datang dan terkejut melihat koper-koper besar dihalaman kosanku yang tertumpuk.

"Ki... kau mau kemana lagi?" Tanya Pingkan.

"Pulang kampung... selamanya..." Ucapku terbata-bata.

Mata Pingkan berkaca-kaca." Kenapa Ki... jangan tinggalin aku dan Dion... pleas, kami masih membutuhkanmu untuk karya-karya kami..."

Mendengar kata kami aku semakin ingin segera pergi. aku terdiam walau tak tahan melihat Pingkan menangis.

"Aku harus pulang..." Ucapku lagi.

"Apa alasannya?"

Aku terdiam, tiba-tiba aku mengeluarkan kata-kata dengan nada tinggi.

"Aku sendiri tak tahu apa alasannya... yang jelas aku harus pulang dan meninggalkan kota Jakarta ini," Ucapku kasar, tiba-tiba taksi yang kupesan untuk mengantarkanku keterminal Kalideres tiba, kumasukkan barang-barangku dibagasi belakang tanpa memperdulikan Pingkan. Pingkan terus menangis tanpa kata-kata lagi.

Hatiku bicara " Maafkan aku Pingkan, ini semua kulakukan karena ku tak bisa mlihat kalian bahagia berdua... aku sangat cemburu..."

aku masuk dalam taksi, tak lama kemudian Dion muncul dengan sepeda motornya.

Ia mengetuk pintu taksi. aku tak peduli, kudengar ucapannya yang keras.

"Mau kemana ki... aku melihat cerpenmu yang berjudul Saat Sendiri sudah ada di majalah Kawanku... tumben kau membuat tentang cinta?" Ucap dion keras... aku tak peduli, kusuruh supir taksi melajukan taksinya, kutinggalkan Dion dan Pingkan disana, mataku sembab.

"Maafkan aku yang tak bisa menerima kisah persahabatan kita yang terlanjur membuatku seperti ini..." Bisik hatiku.

Sesampainya di terminal Kalideres aku ragu untuk pulang, kubeli majalah Kawanku disana, kubaca ulang cerpenku yang diterbitkan di halaman 20... Saat Sendiri, ungkapan hatiku pada Pingkan, nama tokoh yang kutulis namaku sendiri dan nama Pingkan serta Dion, kisah tentang kecemburuanku. Andai Pingkan membacanya, ia akan tahu kenapa aku pergi meninggalkannya.

Mobil bus Sinar Dempo akan segera berangkat, koper-koperku sudah dimasukkan kebagasi oleh kenek, bus itu akhirnya melaju dan akan melintasi selat sunda dan Pulau Sumatera menuju kampung halamanku Lintang Empat Lawang, mataku masih sembab, sedih dan galau. di Bitung HPku berkali-kali berbunyi aku tak mengangkatnya. tiba-tiba sms Dion masuk.

"Jika kepergian lo hanya karena cemburu, sama seperti cerpenmu dimajalah ini, lo salah ki... kedekatan Pingkan sama gue selama ini hanya meluangkan kebingungan Pingkan akan perasaannya sama lo ki, dia sayang banget sama lo tapi dia bingung. dia deket sama gue hanya karena pengen curhat saja... tentang lo..."

Aku memberhentikan bus Sinar Dempo itu  saat akan memasuki tol menuju Merak, kuminta kenek untuk menurunkan semua barang-barangku, kucari taksi lalu aku kembali ke Jakarta, mengurungkan niatku untuk pulang kampung, berjam-jam, taksiku terhenti dihalaman rumah Pingkan, aku berdiri dihadapan pintu rumahnya. lama... kupencet bel rumahnya Pingkan tak muncul-muncul... tak lama kemudian Pingkan datang bersama Dion, ia turun dari motor. Pingkan terdiam dan menunduk diujung sana, aku malu menghampirinya. aku ingat kata-kata mas Budi sewaktu di Brebes tentang kejujuran Hati, mulutku susah sekali untukku gerakkan, akhirnya aku mengucapkan sesauatu yang selama ini tak pernah kuucapkan langsung.

"Maafkan aku Pingkan, selama ini aku menyimpan perasaanku padamu, aku... aku sayang kamu..." Ucapku terbata-bata, diujung sana Dion tersenyum-senyum malu mendengarnya.

"Jahat... bikin cerpen cinta nggak bilang-bilang tokoh namanya nama Pingkan langsung, pake samaran kek..." Ucap Pingkan mendekat kearahku sambil tersenyum malu.

"Kamu belum menjawab kata hatiku..." Ucapku.

"Ah... nggak usah terlalu didramatisir deh kayak dicerpen... jawabannya kan udah aku jawab melalui puisi yang dulu pernah aku bacakan langsung..." Ucap Pingkan mencoba bercanda untuk menutupi kata hatinya.

"Jadi nggak jadi pulang nih..." Ledek Dion.

Aku dan Pingkan tersenyum malu... tak tahu harus memulai hubungan dari mana... yang jelas hari itu aku bahagia... karena kejujuran... ya cinta butuh sebuah kejujuran....

Cikupa, 07 September 2011